Bagaimana Seharusnya Wartawan Meliput Aksi Kerusuhan?
Tulisan aslinya: "Ikhtiar Menjaga Nyawa Wartawan" yang disusun Dandhy Dwi Laksono ---
Tulisan Dandhy Dwi Laksono ini sudah beberapa kali disadur oleh kalangan wartawan. Ini penting dikaji mengingat seringkali kita lihat di televisi atau di pemberitaan media lainnya wartawan menjadi korban keganasan massa atau aparat represif saat meliput aksi kerusuhan, demonstrasi, aksi massa, dan tawuran.
Dalam beberapa momen, tulisan
Dandhy menjadi acuan para pemburu berita, gambar foto maupun rekaman video. Saya
mendapat tulisan ini dari milis Forum Diskusi Wartawan Bandung [FDWB], disadur
dari fesbuk oleh wartawan senior Agus Rakasiwi tahun 2010.
Dari milis itu Agus Rakasiwi menyebarkan lewat akun ajibandung@yahoogroups.com. Tidak ada salahnya jika tulisan ini kembali dipublikasikan untuk kajian para wartawan yang paling suka dengan liputan keras semisal aksi tawuran, kerusuhan, demontsrasi, dan sejenisnya yang berujung bentrokan antara massa dengan massa atau massa dengan aparat.
Bagi wartawan sejati, bentrokan fisik dalam aksi massa adalah berita emas. Paling tidak, bidikan kamera pada kejadian menjadi momen penting yang tidak akan bisa terulang. Kesempatan itu hanya sekali, sehingga rukun imannya jurnalis adalah mengabadikan momen langka itu.
Tetapi, terkadang wartawan ikut menjadi korban keganasan aparat represif saat bentrokan. Tidak hanya kameranya dirusak, disita, bahkan fisik wartawan juga dianiaya. Paling buruk dari kejadian itu tidak sedikit wartawan yang tewas saat liputan. Padahal jurnalis sudah menunjukan kartu pers dan berteriak "saya wartawan".
Dalam tulisan itu Dandhy menceritakan pengalaman tragis Ardiansyah Matrais, wartawan Merauke TV, Papua, yang ditemukan tewas di Sungai Maro pada 29 Juli 2010, setelah dilaporkan hilang oleh keluarganya. Polisi menemukan indikasi kuat almarhum tewas dibunuh.
Belum jelas kasus ini, Sabtu kemarin (21/8/2010) kontributor SUN TV (group MNC) di wilayah Tual Maluku Tengara, Ridwan Salamun, tewas dianiya saat sedang menjalankan tugas jurnalistiknya.
Salamun tewas saat merekam bentrokan antar warga kompleks Banda Eli dan warga Dusun Mangun, Desa Fiditan, Kita Tual. Peristiwa ini terjadi sekitar pukul delapan pagi, waktu setempat.
Menurut saksi mata, almarhum diserang oleh salah satu pihak yang bertikai, saat mengambil gambar di tengah-tengah kerumunan massa. Ini adalah kehilangan kedua bagi keluarga besar redaksi MNC, setelah Sori Ersa Siregar (RCTI) tewas tertembak TNI di Aceh pada Desember 2003, setelah enam bulan disandera Gerakan Aceh Merdeka [GAM].
Meski dua-duanya memakan korban wartawan, tapi meliput konflik horizontal atau konflik komunal sesungguhya memiliki risiko lebih tinggi daripada konflik vertikal antara negara dengan rakyat, atau konflik yang melibatkan pasukan-pasukan regular.
Pada jenis konflik yang kedua, masing-masing pihak masih menimbang dampak bagi karir, pertanggung jawaban komando, reputasi dan publikasi, image politik, bahkan sanksi hukum. Tapi untuk konflik jenis kedua, kalkulasi tersebut nyaris nihil.
Konflik komunal di Sampit atau Sambas di Kalimantan tak mudah begitu saja diliput wartawan, meski dia mengantongi kartu liputan dari Kodam setempat. Begitu pula dengan konflik berbau agama di Ambon, Maluku. Demikian juga dengan konflik fisik sporadis seperti tawuran antar-kelompok warga seperti yang menimpa almarhum Ridwan Salamun.
Kebijakan Editorial
Posisi media yang imparsial dalam setiap konflik, adalah modal utama perlindungan bagi wartawannya di lapangan. Tanpa ini, redaksi media dengan sadar atau tidak, telah menempatkan jurnalisnya dalam risiko kekerasan yang akan dilakukan oleh salah satu pihak: baik dalam konflik vertical atau horizontal (komunal).
Operasi pemberantasan terorisme, misalnya, dalam beberapa kasus seperti di Poso, Sulawesi Tengah, dianggap sebagai konflik vertikal, daripada sebuah operasi penegakan hukum. Densus 88 telah menjadi "salah satu pihak yang bertikai", dan karenanya ancaman-ancaman tak formal kerap dilontarkan untuk para wartawan dari media yang kebijakan editorial medianya menganggap Densus sebagai pemegang tunggal hak atas kebenaran di lapangan.
Begitu juga dengan televisi-televisi yang meliput Aceh dengan semangat "jurnalisme NKRI harga mati" semasa pemberlakuan Darurat Militer. Beberapa gerilyawan GAM di wilayah-wilayah tertentu, memendam niat untuk melakukan tindakan atas jurnalis-jurnalisnya.
Jadi sebelum merumuskan ikhtiar-ikhtiar yang lain, syarat utama melindugi wartawan yang meliput konflik di lapangan adalah kebijakan editorial media tempatnya bekerja. Bila media harus bersikap imparsial, konon lagi wartawan yang bertugas di lapangan.
Bila secara personal si jurnalis memiliki bias yang gagal dikendalikan dan mewujud dalam sebuah liputan yang secara sadar memihak pihak-pihak tertentu, maka saat itulah risiko mulai muncul.
Tapi bagaimanakah bila ini menyangkut liputan-liputan konflik yang spontan atau sporadis seperti tawuran atau demonstrasi yang berakhir rusuh?
Kamera Wartawan
Bekali-lah wartawan dengan kamera wartawan, bukan kamera turis atau kamera intel. Sejak teknologi semakin maju, kamera-kamera (baik foto maupun video) menjadi semakin berukuran kecil dan semakin murah bahkan sejenis HP android.
Kamera jenis ini cocok untuk liputan-liputan investigasi, tetapi sangat tidak dianjurkan untuk liputan konflik terbuka. Bagaimana pun, kamera adalah identitas yang membedakan wartawan dengan anggota kerumunan.
Apalagi, sejak reformasi, makin banyak pihak-pihak di luar jurnalis yang juga berkepentingan mendokumentasikan peristiwa-peristiwa tertentu dengan kamera-kamera ukuran poket atau handycam, bahkan smartphone.
Para kontributor yang bekerja untuk televisi-televisi besar di Jakarta, biasanya justru bekerja dengan kamera-kamera kecil. Kamera itu pun modal kerja mereka sendiri. Hanya beberapa orang dengan masa kerja tertentu saja yang mendapat bantuan kredit kamera dengan cara dicicil, dipotong honor dari setiap berita tayang.
Kamera-kamera besar dengan harga murah kini banyak beredar di pasaran.Tampilannya kamera profesional, isinya "mesin handycam". Kamera jenis ini sering digunakan untuk meningkatkan prestise tukang shooting video kawinan. Dengan hanya Rp10 juta, kita sudah bisa tampil outstanding di tengah kerumunan massa dengan memanggul kamera ukuran besar.
Posisi Jurnalis
Persaingan industri televisi makin ketat. Terutama sejak ada dua TV berita diteruskan adanya TV-TV analog lokal dan TV Online, semua wartawan seolah ada dalam pacuan untuk menjadi yang tercepat dan prestisius. Kompetisi yang sama sengitnya juga terjadi di antara portal-portal beritaonline. Mereka bahkan bersaing hingga ke satuan waktu detik, siapa yang lebih dahulu mengunggah berita.
Khusus untuk televisi yang agamanya adalah gambar, menjadi yang paling dramatis menyanyikan gambar konflik adalah obsesi setiap jurnalis dan terutama tuntutan dari kantor.
Konflik fisik terbuka secara angle gambar sebenarnya paling menarik diambil dari jarak jauh di mana kamera bisa merekam kedua belah pihak yang bertikai. Jarak ini selain "enak ditonton" (terutama jika melibatkan bentrokan massal) juga aman bagi jurnalis. Tapi kadang jurnalis atau perusahaan media tak puas dengan itu.
Mereka juga butuh suara (atmosfir/natural sound). Suara orang memekik, mengerang, menerjang, kesakitan, bahkan memaki. Tuntutan untuk menghadirkan suara inilah yang membuat jurnalis dengan kamera ala kadarnya harus menjangkau lokasi bentrokan dalam jarak sebenarnya sama sekali tidak aman bagi keselamatan dirinya. Apalagi yang terobsesi merekam ekspresi wajah orang-orang yang sedang bertikai.
Hampir tidak ditemukan media yang memiliki Standard Operation Procedur (SOP) tentang liputan konflik fisik semacam ini. Semakin nekat wartawannya, semakin dramatis gambar yang dihasilkan. Semakin dramatis gambarnya, semakin senang para produser dan kantor mereka. Inilah jaminan memeroleh rating tinggi dan memenangi persaingan dengan televisi tetangga.
Identitas Jurnalis
Di masa-masa kerap terjadi demonstrasi rusuh awal reformasi, wartawan menggunakan kartu pers ukuran besar yang digantung di lehernya. Media asing malah melengkapi para kontributornya dengan rompi yang bertuliskan PRESS dibagian punggung.
Jurnalis memang sebaiknya dibekali dengan dua ukuran kartu pers: satu untuk liputan regular, dan satu untuk liputan konflik. Rompi yang mudah dikenali sebagai wartawan, sepertinya perlu disiapkan dalam tas kamera, bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Inilah SOP yang mestinya juga ditegakkan dan diawasi oleh kantor media masing-masing.
Meliput Berkelompok
Ikhtiar lain untuk mengecilkan risiko liputan konflik terbuka adalah meliput secara berkelompok. Para kontributor di daerah sesungguhnya memiliki ikatan "solidaritas" yang lebih kuat dibanding wartawan bergaji tetap. Mereka kerap berbagi informasi dan mengucilkan rekan-rekannya yang dianggap ingin selalu mencari berita "eksklusif".
Untuk liputan konflik terbuka, sebaiknya jurnalis memang meliput secara berkelompok. Selain untuk meneguhkan identitas (karena wartawan yang memegang kamera secara berkelompok tetap lebih mudah dilihat dan dikenali), liputan secara berkelompok juga perlu bila ada hal-hal yang tak diinginkan seperti penyerangan atau cedera.
Karena itu, dalam setiap liputan konflik terbuka, baik jurnalis maupun kantor tempat mereka bekerja, tidak perlu terobsesi untuk berlomba-lomba membuat berita eksklusif, mengalahkan pertimbangan keselamatan. Seperti halnya revolusi, semoga industri tidak memakan anaknya sendiri.
Bagaimana dengan pengalaman wartawan di era milenial ini? Bisa saja pengalamannya akan sangat berbeda dibanding tiga zaman sebelumya, yakni Orla, Orba, dan Reformasi. Di era Presiden Jokowi ini bentrokan sering juga terjadi. Bahkan disaat perusahaan pers dituding memihak pada salah satu kelompok.
Bagaimana nasib wartawan yang menjadi korban konflik horizontal dan vertikal sekarang, siapa yang bertanggung jawab?[selesai]
Tidak ada komentar