Eka Santosa, Pilkada Jabar 2020: Petahana Menang Besar - Sadarlah, Kembai ke UUD '45
Algivon -- Eka Santosa, Ketua DPRD Jabar 199 – 2004,
dan anggota DPR RI 2004 – 2009, di kediamannya di Kawasan Ekowisata dan Budaya
Alam Santosa , Pasir Impun, Desa Cikadut, Cimenyan Kabupaten Bandung pada 8
Desember 2020, angkat suara terkait pencoblosan Pilkada di Jawa Barat pada
Rabu, 9 Desember 2020. Menurutnya, dari 8 daerah yang melaksanakan pesta
demokrasi ‘Pilkada Serentak 2020’, di antaranya Kabupaten Bandung, Cianjur,
Sukabumi, Karawang, Indramayu, Tasikmalaya, Pangandaran dan Kota Depok:
“Ini benar-benar Pilkada di Jabar dan Nusantara yang amat
berbeda, khususnya digelar dalam suasana pandemi Covid-19. Mau tak mau,
hasilnya pun akan menarik dan adalah nantinya pengaruh dari masih maraknya pandemi
Covid-19, karena tingkat partisipasinya pun akan banyak berkurang dari target
rata-rata 70%, bisa kurang malah,” ujarnya dengan menambahkan – “Prediksi saya
para petahana, akan punya keunggulan, karena akses jaringan misalnya, siapa pun
tahu mereka bisa lebih unggul memanfaatkannya.”
Lebih lanjut Eka memprediksi, sebagian besar pemenang akan didominasi oleh mereka yang diusung serta didukung oleh partai besar. “Contohnya, untuk Kabupaten Bandung dimana Paslon Nia dan Usman yang diusung Golkar dan Gerindra, kemungkinan akan tampil sebagai pemenang. Ini analisa saya, kan boleh ya kita berprediksi sah-sah saja kan?" tuturnya.
Pesta ‘Cukong’ Politik ?
“Pilkada langsung yang selama ini dilaksanakan tidak menjamin
melahirkan pemimpin yang baik, selain ongkos politik tinggi. Setelah dicermati,
pilkada langsung ini cenderung dapat merusak tatanan dan struktur sosial
kemasyarakatan, termasuk tatanan di partai, karena banyak kader partai yang
memiliki kapasitas serta kapabilitas namun tidak didukung finansial yang cukup,
akan sulit naik. Disinyalir amat kuat adanya money politics,” paparnya dengan
menambahkan jalan keluar – “Solusinya, mari kita kembali ke UUD 1945. Artinya, pemilihan
pemimpin baik di daerah bahkan presiden dilakukan melalui perwakilan yang duduk
di legislatif."
Menyitir pentingnya pemilihan kepala daerah dikembalikan lagi
oleh anggota legislatif – Atau kembali ke UUD 1945:
”Coba saja gara-gara pilkada ini, perbedaan hingga menuju konflik horizontal di masyarakat, termasuk di internal keluarga di beberapa daerah kerap terjadi. Hasilnya, walikota Cimahi hattrick ya 3 kali dicokok KPK, belum yang lainnya. Memang pola dan tingkat demokrasi kita, fitrahnya tak seperti di Amerika Utara atau Eropa Barat, kita ya demokrasi yang cocok kiranya berlandaskan musyawarah mufakat seperti di Sila ke-4 Pancasila. Ini kan yang founding father ajukan sejak awal kemerdekaan,” tuturnya dengan menambahkan – “Paling yang ramai itu kan dalam pemilihan kepala daerah, ya ditingkat legislatif saja. Biarkan, mereka berdebat dan berdemokrasi dalam bingkai musyawarah mufakat itu.”
Suasana diskusi di Kawasan Ekowisata dan Budaya Alam Santosa - 'Kini ada cukong di balik Pilkada yang ingar bingar kebablasan itu. Cobalah rasakan ... (Foto Edi Jurnal1.id )
Lebih jauh efek dari kondisi yang disebut Eka kini sebagai ‘demokrasi yang kebablasan’, luka dari adanya perbedaan akibat permainan politik selama pilkada setelah reformasi 1988:
”Di tingkat grass root
itu lukanya sukar sembuh, karena tingkat dan budaya demokrasi kita memang bukan
atau belum sama sekali tidak seperti di negara-negara barat.”
Mau tahu contohnya, kata Eka soal ketidak-akuran karena ‘demokrasi
yang kebablasan’ ini? “Dalam 10 tahun kepemimpinan Kang Aher sebagai Gubernur
Jabar, cermati saat digelar setiap tahun peringatan hari lahir Provinsi Jabar (setiap
19 Agustus), dari 27 kepala daerah di Jabar yang hadir ke Bandung, hanya
beberapa gelintir saja,” ujarnya dengan menyebutkan alasannya –“Katakanlah hubungan
‘kausalitas’ antar gubernur dan walikota serta bupati, saling tida ada
keterkaitan. Ini terjadi pula dalam hal hubungan seputar birokrasi, dan kinerja
untuk melayani rakyat di berbagai lini. Ini amatlah berbahaya untuk masa depan
bangsa.”
Masih di penghujung diskusi ini, karena begitu mahalnya
pilkada ini, tak heran para cukong muncul secara jelas maupun samar-samar di
belakang para calon pemimpin kepala daerah:
”Ini harus kita waspadai, yang terjadi itu kelak para pemimpin
daerah itu adalah mereka yang memang punya kuasa khusus mempermainkan APBN, APBD.
Para calon pemimpin walaupun berkualitas dan potensial, serta mungkin saja
sangat dicintai rakyat karena kejujuran dan kebajikannya, namun karena tak
memiliki uang?! Ya, tak lolos menjadi pemimpin daerah, bila sistemnya seperti
sekarang ini,” pungkasnya yang berharap pilkada kali ini –“Semoga ini menjadi
pilkada terakhir sebelum kembali ke sistem yang kita harapkan kembali ke UUD
1945. Sadarlah ..!” (Edi/Harri Safiari)
Tidak ada komentar