Eka Santosa Luncurkan Podcast ‘EKATANYA’, Pelukis Umar Sumarta: Jadi Pejabat 3 D Ajah !
Algivon – Masih melanjut obrolan
dari tokoh warga Jabar Eka Santosa, kali ini (12/7/2021) di kediamannya di
Kawasan Eko Wisata dan Budaya Alam Santosa, Desa Cikadut, Cimenyan Kabupaten
Bandung, ada peristiwa eksplorasi khusus dengan kemasan kekinian podcast. Mau
tahu, apa judul atawa julukan podcastnya? ‘EKATANYA’, namanya sebut jurnalis Muhammad
Irfan dan Shahadat Akbar, serta Sri Royani, sebagai salah satu tim penggagasnya.
Reportasi kaIi ini, mengupas seputar di balik pengambilan gambar dan audio
podcast ‘EKATANYA’ itu.
“Duh, ini rekan-rekan ada-ada saja. Biasa kan saya suka
ditanya ini itu oleh insan jurnalis, ya seputar politik, lingkungan, budaya,
dan lainnya. Ini kali ini, katanya malah saya dibantu co-host Kang Harri Safiari, harus tanya ini- itu. Pilihan pertama ke maestro perupa asal Desa Cijere,
Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Pak Umar Sumarta,” terang Eka sambil norolang lagi – “Sangat tertantang, dan
pasti mengasyikkan. Apalagi tempat kelahiran Pak Umar tahun 1948 itu di Cijere,
Rancakalong itu tempat amat kental
dengan binaan BOMA (Baresan Olot Masyarakat Adat) Jabar yang saya rintis sejak
2010-an. Salah satu tujuan BOMA Jabar itu, turut memperkokoh hak ulayat
masyarakat adat. Termasuk, melindungi, mempertahankan cipta karsa, dan seni budaya
setempat. Terdekat ya seni tradisi tarawangsa yang unik itu, perlu kita kembangkan.”
Selain Eka Santosa dan tamu khusus Umar Sumarta, hadir di
belakang layar dalam podcast EKATANYA ini salah satu kolektor dalam 27 tahun
terakhir, Djen Himawan yang biasa disapa Koko Odjen. “Saya ini tak usah disebut-sebutlah.
Biar Pak Umar saja yang tampil dan Pak Eka Santosa,” papar Koko Odjen dengan
nada low profile, tatkala dimintai
komentarnya tentang gelaran podcast ‘EKATANYA’.
“Beginilah, saya dukung upaya Pak
Umar untuk menjelaskan asal-usul, karyanya dari masa ke masa, juga keinginannya
mewujudkan museum yang memamerkan karyanya di Pantai Pangandaran. Kebetulan, niatan
ini, sudah banyak diketahui orang, dan tak sedikit pula pendukungnya,” ujar
Koko Odjen sambil menambahkan – “Semoga pandemi Covid-19 ini segera berlalu,
dan kita sehat semua. Selekasnya impian bersama ini ter-realisasi.”
Khusus untuk gelaran ‘EKATANYA’ ini
Koko Odjen, membopong koleksi pribadinya, yang semuanya berwujud oil on canvas, yaitu ‘Mencari Pemenang’ 2021 (140 X 294 cm); ’Wayang’
(125 X 148 cm); ‘Tarawangsa’ (140 X 90 cm); dan ‘Dewi Sri Menungang Kuda’ (150
X 200 cm).
Menanggapi, apa yang tersirat dan
tersurat khusus untuk karyanya ‘Mencari Pemenang’, menurutnya ini dianggap
sebagai sindiran atau sudah bukan rahasia umum, bila ingin menjadi pejabat di
negeri ini, hanya ada 3 D. Pesan moralnya, harus:”Dekat, dukun, dan dulur. Ini
pesan untuk 2024, menyongsong pesta demokrasi. Pemenangnya nanti ada yang
bermuka bagong, domba, sapi, buaya, tikus dan lainnya. Mereka bermain panko,
adu kuat. Tapi yang menang itu Dewi Sri. Tapi setelah mereka menang, mereka itu
tetapah bermuka buaya, bermuka babi, dan sebagainya. Nah ini tuh masker, ya
masker yang akan datang,” ujarnya sambil menjelaskan motif hampir sejenis
karyanya dulu yang di beri judul ’Adu Domba’ – “Artinya, mau jadi pejabat di
negeri kita ini harus 3 D ajah !”
Pelukis Sangeunahna
Umar Sumarta sendiri dalam pantauan
redaksi selama dikepung, dan diberondong oleh berbagai pertanyaan dari duo host di ‘EKATANYA’
, tampak begitu exiting sepintas
seperti berapi-api menjelaskan ‘duduk pekara’ sejumlah karyanya yang sejak era
1970-an hingga kini telah dikoleksi oleh pecinta seni terutama di Eropa,
Amerika Serikat, Jepang, Singapura, dan beberaa negara lainnya.
“Saya tak peduli lukisan saya masuk
aliran apa. Pokoknya, dulu kata Alm. Pelukis Popo Iskandar dosen saya waktu di IKIP Bandung (sekarang UPI) tahun
1980-an, saya ini disebut pelukis sangeunahna
(seenaknya!). Beterima kasih atas bimbingan Pak Popo Iskandar kala itu,
hingga saya sampai sekarang ini,” terang Umar Sumarta.
Masih kata Umar Sumarta dalam cuplikan
‘EKATANYA’ yang berlangsung sekitar 30 menit lebih. Saat kuliah di IKIP
Bandung, dirinya malah mondok di kantor. Ia istilahkan fenomena ini sebagai
mahasiswa ‘doktor’ demi menghemat biaya indekost. “Malam hari tidur di ruang
kuliah, bangun paling pagi sekali, agar tak diketahui orang,” aku Umar.
Apesnya, tatkala malam hari sebelum
tidur diruang kelas, dirinya sempat bereksperimen membakar bahan plastik untuk
cat. Namun apa lacur, aksinya diketahui Pak Popo Iskandar dari balik jendela
ruang kuliah. Semalaman, dirinya tak bisa tidur, takut esok habis-habisan dimarahi.
“Yang terjadi, Pak Popo malah
memanggil saya ke rumahnya. Umar, ini bawa cat dan kanvas buat kamu. Kalau saya
nakal waktu itu, di setiap kanvas bekas itu sudah ada tanda tangan Pak Popo
Iskandar. Tindakan pertama saya, tentu menghapusnya. Saat itu pula saya disuruh
berhenti membuat potret (menggambar orang) yang sudah dilakoni sejak kecil di
desa. Kata Pak Popo, hentikan itu semua, biar Umar bebas jadi pelukis,”
terangnya dalam cuplikan ‘EKATANYA’ yang katanya, sejak itu jalan semakin
lapang untuk menjadi pelukis yang bebas dan merdeka (pelukis sakahayang) – “Terpenting, dalam setiap
gerak lukisan kita mampu memunculkan karakter, bisa dipertanggungjawabkan
lahir-bathin, dan penuh kejujuran.”
Kurator Kita?
Di luar dari konten ‘EKATANYA’ kali
ini, ditanya redaksi perihal kurator di Indonesia ini, “tentu sangat-sangat
penting sekali. Hanya sayangnya, kurator kita rata-rata masih terbatas
pengetahuannya.” Diakui dirinya sangat respek terhadap penulis senior Agus
Dermawan T, “beliau itu original penulis.”
Diilustrasikan, oleh Umar Sumarta
secuil kebebasan atau kemerdekaan pelukis yang dirinya sudah ‘meraba’ ke berbagai
museum maestro karya lukis tingkat dunia seperti Pablo Picasso, Leonardo Da
Vinci, Salvador Dali, Michelangelo, Vincent Van Gogh, Raden Saleh di museum di Belanda,
dan banyak-banyak lagi.
Dicontohkan oleh dirinya bedasarkan
pengalaman pada kunjungan ke Eropa di tahun 2000-an yang kala itu disponsori
seseorang tak kurang dari Rp. 2 M sebagai biaya hidup.”Tatkala berkunjung ke
Museum Louvre di Paris, Prancis. Saya melihat dan berdiskusi dengan dosen dari
jepang yang membawa banyak mahasiswanya, memperbincangkan tentang karya yang
ada di museum ini.”
Masih kata Umar Sumarta, sebaiknya
bila pengetahuan dan pengalamannya tak begitu banyak dan mendalam,”sebaiknya
tak usahlah jadi kurator. Yang dosen Jepang di Paris itu, mungkin negaranya
sudah begitu kaya dan maju, ya? Study tour mahasiswanya saja, ke pusat seni
dunia,” jelas Umar.
Keluhan Umar lainnya, dirinya merasa
menyesalkan sewaktu berpameran di dalam negeri. Kala itu ia mengundang sang
penulis atau kurator dari salah satu Perguruan Tinggi (PT) ternama di dalam negeri:“Sayangnya, kurator
ini tak mau hadir. Karena, selama ini kurator ini katanya diduga kuat, hanya
mengulas karya dari PT-nya saja. Katanya pula, kalau mengulas karya saya yang
hanya lulusan PT tertentu, Namanya akan jatuh. Tetapi saya tak mengapalah, tokh
karya saya masih bisa berkibar hingga usia 70
lebih di dalam dan luar negeri.”
Sisi lain 'EKATANYA' Susahnya mencari kurator yang benar-benar ... di negeri kita ...
Masih di belakang layar ‘EKATANYA’,
Umar Sumarta yang juga hari itu di Alam Satosa, dihadiri oleh istri dan dua
anaknya Asep dan Hayati Umar yang
masing-masing lulusan dari Universitas Kristen Maranatha di Bandung,
mengatakan:
”Hari ini saya seakan kembali
bergairah, bertemu rekan-rekan terutama Pak Eka Santosa yang ternyata paham
betul, bagaimana mempertahankan seni Sunda Tarawangsa yang saat ini, perlu
perhatian khusus untuk pelestariannya. Lalu rencana pedirian museum di
Pangandaran, alhamdulillah sudah ada dukungan dari sana-sini. Semua ini,
amatlah bermakna bagi saya dan keluarga, biar kita tak jadi jago kendang !” (Harri Safiari/ M Irfan/Akbar)
Sukses terus buat pa Umar dan pa djen
BalasHapusHebat plukis Umar sumarta, berani tampil di USA & Eropa. Smoga pa Umar pjg umurnya, Maju trus Berkarya yg Hebat, sy salut skli.
BalasHapus