Mengapa Kita Harus Waspada Saat Lobster Molting ?
O P I N I
Oleh: Rita Rostika
Peneliti Lobster
Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas
Padjadjaran
Algivon -- Molting adalah proses
pergantian cangkang pada udang-udangan (crustacea) dan terjadi ketika ukuran
daging udang bertambah besar, sementara eksoskeleton (cangkang) tidak bertambah besar karena eksoskeleton
bersifat kaku, sehingga untuk menyesuaikan keadaan ini udang akan melepaskan
eksoskeleton lama. Proses molting terbagi 3 tahapan, tahapan
sebelum molting (pro-ecdysis), sesaat molting (ecdysis), dan sesudah
molting (post-ecdysis), dengan bebagai dinamikanya.
Struktur cangkang pada lobster pro-ecdysis memiliki struktur
yang lengkap dan ketebalan cangkang yang paling tinggi. Unsur penyusun cangkang
seperti C, O, N, dan Ca paling banyak ditemukan di dalam cangkang. Selain itu, cangkang
lobster memiliki rasio berat yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging
lobster. Cangkang lobster post-ecdysis memiliki rasio berat cangkang tertinggi,
sedangkan pada lobster ecdysis memiliki rasio berat daging yang paling tinggi.
Proses molting ini memerlukan energi dan nutrien yang cukup,
baik untuk cadangan makanan disaat lobster melakukan molting ataupun untuk
pembentukan cangkang yang baru. Selain
itu, pergantian kulit tersebut juga diikuti dengan pertumbuhan volume tubuh dan
pertambahan berat badan, yang ditandai dengan meningkatnya nilai panjang
karapaks, serta nilai berat total dari lobster itu sendiri. Molting terjadi
akibat dampak dari proses hormonal dalam tubuh udang. Seperti pada kasus yang
sering ditemukan, bahwa proses molting biasanya terjadi di antara populasi
udang yang akan atau memijah.
Perlu diketahui, bahwa siklus molting dapat terganggu karena
stress yang secara signifikan terjadi pada krustasea, seperti contohnya ketika
kolam pemeliharaan terlalu sering dikuras. Proses molting yang terganggu, juga
dapat menghambat proses bertelur krustasea.
Fase kritis ketika molting adalah saat kutikula yang baru
tumbuh pada tubuh dan berinteraksi dengan lingkungan eksternalnya. Terdapat
3 tahap yang terjadi setelah proses molting, di antaranya adalah:
1.Post-molt: pada fase ini, krustasea sedang dalam masa
pemulihan dari proses molting sebelumnya. Pada fase ini pula udang akan
menyerap banyak air (poin A) agar mampu menumbuhkan dan memperkuat kutikula
baru yang akan menyesuaikan ukuran tubuhnya yang baru pula. Cangkang yang baru
kemudian akan mengeras dalam waktu beberap jam (Tahap B)
2.Inter-molt: Pada fase statis ini, kutikula dari krustasea
dalam keadaan fungsional. Pertumbuhan bobot krustasea akan terus terjadi, dan
pada tahap ini aktivitas makan krustasea tidak terganggu bahkan cenderung
stabil hingga maksimal.
3.Pre-molt: Pada fase sebelum molting ini, krustasea
mempersiapkan tubuhnya untuk proses molting selanjutnya. Pada tahap ini napsu
makan krustasea akan sangat turun, dan disaat bersamaan lapisan kutikula mulai
tumbuh dan menjadi terlihat secara kasat mata
Tabel 1 berikut ini adalah dinamika yang terjadi (durasi,
kondisi eksoskeleton, dan ajktifitas feeding saat krustasea molting.
Tabel 1. Durasi,
Kondisi Eksoskeleton (cangkang bagian luar), dan aktifitas makan dari Krustasea
Tahap post-molt pada udang: Periode rentan penyakit dan disfungsi. Proses molting pada dasarnya akan mengganggu keseimbangan tubuh udang secara signifikan. Fase yang paling rentan adalah ketika cangkang baru mulai terbentuk pada post-molting. Sedangkan, pembatas secara fisik yang terbentuk dari kutikula belum sepenuhnya berfungsi, pada saat ini udang butuh memobilisasi cadangan dalam tubuhnya untuk memperkeras dan memberikan mineral pada kutikulanya yang belum kuat.
Beberapa penyakit dapat menyerang udang pada saat seperti
ini, yang dilaporkan pada udang-udangan adalah
penyakit White Spot Syndorme Virus (WSSV) yang biasanya muncul pada
tahap A dan B dari fase post-molt. Pada
Gambar 1 menunjukkan bobot krustasea saat molting, dimana terjadi penyerapan air yang cukup
banyak sehingga terjadi peningkatan bobot dengan cepat.
Gambar 1. Kondisi
Bobot Krustasea Saat Krustasea Molting.
Sejatinya pertumbuhan krustasea tidak terjadi secara terus
menerus seperti ikan. Bila digambarkan menjadi grafik, pertumbuhan krustasea
memiliki bentuk grafik seperti anak tangga yang berurutan, sedangkan
pertumbuhan ikan umumnya berbentuk sigmoid. Pertumbuhan krustasea secara
bertahap terjadi agar dapat menyesuaikan pertumbuhan eksoskeletonnya.
Masalah Saat Molting
Selain rentan terkena penyakit, udang juga rentan menghadapi
osmotic shock yang disebabkan oleh penyerapan air yang cukup banyak pada tubuh
krustasea (Gambar 1). Proses ini akan sangat mempengaruhi keadaan sel dalam
tubuh krustasea, khususnya pada fungsi sel yang terganggu akibat perubahaan
kandungan air.
Pada konteks ini, penggunaan osmoregulator adalah sumber
pertama yang dapat mengatur keseimbangan sel dalam tubuh udang. Satu hal yang
harus diingat adalah krustasea akan mati apabila proses molting gagal. Hal yang
mendasari gagalnya proses molting adalah kondisi air yang tidak tepat. Kondisi
air yang dimaksud karena kandungan mineral pada air yang tidak seimbang, baik
terlalu rendah maupun terlalu tinggi.
Hal tersebut tentu membuat kadar kalsium pada air tidak stabil, yang
mana kalsium tersebut sangat dibutuhkan oleh krustasea saat melakukan
pembentukan cangkang baru. Untuk itu, perlu untuk dilakukan pengecekan kadar
mineral dalam air secara rutin, demi memastikan kestabilan mineral pada saat
proses molting berlangsung.
Cara untuk mendorong proses molting pada krustasea
Agar proses molting terjadi sesuai waktunya, beberapa hal
yang disarankan untuk Anda lakukan adalah:
Mengecek fase molting krustasea secara teratur ketika
melakukan sampling. Melakukan pencacatan tahap molting yang terjadi pada
krustasea. Hal ini akan membantu Anda dalam mengantisipasi proses molting
selanjutnya
Memastikan jumlah pakan udang yang Anda berikan sesuai
dengan tahap molting krustasea.
Memastikan udang mengkonsumsi cukup kandungan kalsium, dan
fosfor untuk membantu pembentukan cangkang baru.
Menggunakan osmoregulator yang dapat membantu mengurangi
dampak osmotic shock pada krustasea, terutama di tambak yang memiliki tingkat
salinitas rendah ataupun tinggi, maupun tambak dengan pergantian air yang
terbatas.
Demikian tulisan pendek ini disampaikan kepada stake holder
lobster, dengan harapan agar dapat dijadikan acuan saat melakukan
budidaya, semoga berhasil. (HS/RR)
Tidak ada komentar