Meraih Sukses Budidaya Lobster seperti di Lombok, Kita Uji Gunakan Submerge Cage KJA ala Vietnam atau Floating Cage?
Oleh: Rita Rostika
Peneliti Lobster Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran
Algivon -- Lobster laut merupakan jenis hewan invertebrata
yang memiliki kulit yang keras dan tergolong dalam kelompok arthropoda. Hewan
ini pun memiliki fase hidup mulai dari proses produksi sperma, telur, kemudian
fase larva, post larva, juvenil dan dewasa. Secara umum lobster dewasa dapat
ditemukan pada hamparan pasir yang terdapat spot-spot karang dengan kedalaman
antara 5 – 100 meter. Lobster bersifat nokturnal (aktif pada malam hari), dan
melakukan proses moulting (pergantian kulit) (WWF-Indonesia, 2015).
Penyebaran secara vertikalnya berkisar antar tepat di bawah
permukaan air sampai dengan kedalaman lebih dari 100 meter. Habitat lobster ini
adalah mulai dari garis pantai hingga pada batas landas kontinen (Setyanto,
2019). Lobster yang dikenal dengan nama lain spiny lobster, merupakan salah
satu marga dari famili Palinuridae yang memiliki 49 spesies. Di perairan
Indo-Pasific Barat terdapat 11 spesies, dan 6 diantaranya terdapat di perairan
Indonesia. Enam spesies lobster yang ada di Indonesia adalah: Panulirus Homarus
(Gambar 1), Panulirus panicillatus,
Panulirus cygnus, Panulirus polyphagus, Panulirus versicolor, dan Panulirus
ornatus (Moosa dan Aswandy, 1984 dalam Setyanto et al, 2019).
Gambar 1. Panulirus Homarus hasil budidaya di KJA Pantai Timur Pangandaran
Seekor induk Panulirus sp dapat menghasilkan telur sekitar
275.000 butir dan seekor induk P. versicolor mampu menghasilkan telur sebanyak
460.000 butir (Setyono, 2006). (Moore dan MacFarlane 1984 dalam Radhakrishnan
et al. 2019), menyatakan P. ornatus di Selat Torres dilaporkan bermigrasi ke
jarak jauh melintasi Teluk Papua, dan berkembang biak di tempat berkembang biak
tertentu di batas timur Teluk. Hal ini bisa menjadi gambaran bagaimana lobster
bisa masuk kedalam perairan Indonesia. Dari banyaknya jumlah benih lobster yang
tertangkap di perairan Indonesia, sebagian dimanfaatkan menjadi komoditas
ekspor dan sebagian lainnya dimanfaatkan sebagai benih dalam kegiatan budidaya
lobster (Dina dan Hasanah, 2020).
Kegiatan budidaya lobster berskala komersial dan
ekperimental telah dimulai oleh sejumlah negara di antaranya New Zealand,
Jepang, Australia, India dan Vietnam. Bebeberapa di antaranya menggunakan
sistem kerangkeng (Submersible cage) dengan berbagai material dan desain.
Penggunaan material penyusun submersible cage yang digunakan di berbagai negara
sangat beragam, India mengembangkan submersible cage dengan bahan dasar rangka
High Density Polyetylen (HDPE) yang dilengkapi dengan net berbahan nilon
(gambar 2).
Gambar 2. Keramba Submersible cage ukuran Small untuk
budidaya Benih Bening Lobster
(Sumber : Aquatec.com)
New Zealand mengembangkan submersible cage skala eksperimen
berbahan dasar HDPE berbentuk silinder dan kotak untuk memelihara bibit lobster
dengan ukuran panjang karapaks 40-55mm (Jeff & James 2001 dalam Anissah et
al. 2015). Vietnam mengembangkan sea cage sistem submerge. Namun, sistem
pembesaran lobster di Indonesia masih menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA)
dengan material dari bambu dan kayu. Di wilayah Kabupaten Sukabumi, khususnya
Kecamatan Pelabuhan Ratu sudah dikembangkan usaha pembesaran lobster dengan
menggunakan KJA berbahan dasar HDPE. Saat ini, penggunaan KJA untuk pembesaran
lobster dianggap tidak optimal karena lobster hanya mendiami dasar kolom air.
Penggunaan KJA dengan jaring permukaan juga memiliki kekurangan dimana kualitas
perairannya dapat mudah berubah akibat dari perubahan cuaca. Disisi lain,
lobster memiliki sifat yang sensitif terhadap perubahan lingkungan. Berdasarkan
keadaan ini, maka diperlukan inovasi untuk pembesaran lobster yang lebih baik.
Menurut (Radhakrishnan et al., 2019) karena permasalahan adanya sisa pakan yang
tidak termakan oleh lobster, Vietnam menciptakan metode budidaya lobster dengan
sistem submersible cage yang bertujuan agar sisa pakan yang menumpuk bisa
tersapu oleh arus yang ada dibawah permukaan air. Karenanya, kebersihan
kerangkeng tetap terjaga. Oleh sebab itu, penggunaan keramba jaring apung
dengan metode kerangkeng ala Vietnam (submersible cage) dianggap dapat menjadi
satu solusi terhadap budidaya lobster di Indonesia (Anissah et al, 2015).
Saat ini di Pantai Pangandaran sudah dilakukan budidaya
lobster sistem submerged cage sampai kedalaman 7 meter. Untuk kontrol jumlah pakan yang tersisa,
tingkat kematian lobster dan tingkat
kanibalisme antar lobster, pembudidaya harus melakukan penyelaman harian
yang menimbulkan sakit di daerah telinga.
Hal ini tentu membuat pembudidaya tidak sejahtera, sehingga proses
kontrol tidak dapat dilakukan setiap hari.
Akibatnya adalah proses
budidaya lobster dengan kedalaman 7
meter tidak dapat dikendalikan 100 %.
Budidaya lobster di Pesisir Lombok banyak dilakukan dengan
kedalaman 2 meter (Junaidi, 2018), dengan konstruksi rakit karamba sebagai
berikut (Gambar 3).
Karamba Jaring Apung budidaya lobster dengan floating cage
yang sudah banyak dilakukan dan dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Karamba Jaring Apung dengan Floating Cage untuk Budidaya Lobster
Budidaya lobster di permukaan seperti di Lombok sudah lama
dilakukan dengan hasil yang baik, oleh sebab itu saat ini sedang dilakukan
penelitian terkait kedalaman cage di Pantai Timur Pangandaran. Kedalaman cage
yang diuji adalah 2 meter, 3,5 meter dan 5 meter, akan dilihat apakah panjang
lobster, bobot lobster, laju pertumbuhan harian, akan sama hasilnya dengan
lobster yang dibudidaya dalam cage yang dibenamkan sedalam 7 meter? Apabila hasilnya sama baiknya, inilah yang
kita tunggu selama ini. Artinya, kita dapat melakukan budidaya di permukaan
dengan hasil baik seperti di lokasi budidaya lobster di Lombok. Melalui tulisan
ini, kami mohon doa dari semua kalangan, semoga berhasil alias
lolos dari tahapan ‘ujian’ ini. (HS/RR)
Tidak ada komentar