Ini Dia Identifikasi Ektoparasit pada Lobster Pasir di Indonesia - Pembudidaya Wajib Tahu
O P I N I
Oleh : Rita Rostika
Peneliti Lobster Fakultas
Perikanan & Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran
Algivon -- Pengembangan budidaya lobster yang baik dan
menguntungkan adalah yang menghasilkan produksi lobster dengan survival rate,
plus laju pertumbuhan yang baik. Saat
ini di pembudidaya lobster di Lombok, angka Survival Rate Lobster berkisar
40-50 % (Priyambodo, 2021, komunikasi Pribadi).
Tantangan terbesar adalah pakan
yang sesuai dengan food dan feeding habit. Menurut Rostika (2020a) pemberian
pakan dilakukan pada jam 9 pagi dan jam 4 sore, namun proporsi belum diketahui,
padahal lobster ukuran remaja merupakan hewan nocturnal (aktif pada malam
hari).
Kebiasaan makan lobster pasir remaja di alam berdasarkan
kesukaannya adalah moluska 49,80%,
ikan 1,81%, krustasea 44,5% dan
detritus 3,66%, sehingga ini masuk
ke dalam kelompok hewan karnivora. Namun
data penting ini belum diimplementasikan secara luas oleh pembudidaya lobster
pasir. Apabila lobster remaja akan
diberi pakan buatan atau formulasi, performanya akan lebih baik bila diberi pakan dengan kadar protein 50%
dari pada 40%.
Berdasarkan penelitian, pakan alami yang disukai lobster
pasir adalah krustasea dan gastropoda, sebagai contoh krustasea yang ada di
pantai adalah udang rama-rama. Kadar
gizi proksimat daging udang rama-rama (krustasea), Air : 76,58±0,43; Protein
(bk) : 81,47±0,32; Lemak (bk): 5,01±0,12; Abu (bk) : 3,93±0,78; Karbohidrat
(bk): 9,61±0,22 (Ghazali et al, 2020).
Gastropoda yang banyak di sekitar perairan antara lain kerang atau keong dengan
kadar gizi : Protein (bk) : 38,06±0,23 ; Lemak (bk) : 2,70±0,37; Abu (bk) :
8,53±0,55; Karbohidrat (bk) : 10,66±0,07 ; Air : 40,04±0,33 (Witjaksono 2005).
Penggunaan pakan berupa ikan rucah tidak ideal untuk
pertumbuhan lobster karena kurangnya kandungan gizi dan bisa menghasilkan
pigmentasi pucat pada lobster dewasa.
Pakan ini apabila tersisa maka berpotensi untuk mendatangkan parasit
yang merugikan pertumbuhan lobster (Priyambodo dan Sarifin (2009 dalam Susanti
dkk, 2013).
Namun ternyata terdapat penyakit dan parasit yang ada di
budidaya lobster khususnya di Pangandaran dan Sukabumi, berupa terinfeksi
parasit Octolasmis sp. yang menginfeksi terutama pada lamela insang (Sudewi
dkk., 2018) dan red body diseases (Priyambodo, 2021, komunikasi pribadi)
Kingdom | : | Animalia |
phylum
| : | Arthropoda |
class
| : | Maxillopoda |
subclass
| : | Cirripedia |
superorder
| : | Thoracica |
order
| : | Lepadiformes
Buckeridge & Newman, 2006 |
suborder
| : | Lepadomorpha
Pilsbry, 1916 |
family
| : | Poecilasmatidae
Annandale, 1909 |
genus
| : | Octolasmis,
Gray, 1825 |
Sementara contoh lobster dari Lombok terinfeksi jamur Fusarium sp. yang merupakan penyebab penyakit black gill disease dengan gejala insang yang menghitam. Lobster dari Lombok dan Pegametan terinfeksi oleh MHD-SL yang ditandai dengan hemolimfa berwarna putih susu (Sudewi dkk., 2018).
Lobster yang dibudidaya dalam cage, kondisi lebih rentan terhadap serangan patogen dan parasit, terutama pada fase larva. Di antara penyakit yang diketahui pada lobster adalah virus penyakit seperti Panulirus argus virus 1 (PaV1) dan White Spot Syndrome Virus (WSSV), penyakit bakteri seperti Gaffkaemia, penyakit kulit, Vibriosis, red body (Gambar 4), nekrosis ekor dan Sindrom Penyakit Putih Susu dan infeksi jamur seperti Oomycetes, penyakit Burnspot dan penyakit Lagenidium. Ada pula penyakit darah dinoflagellata, paramoebiasis, infeksi yang disebabkan oleh microsporidians dan beberapa parasit invertebrata lainnya seperti copepoda. Fouling epibiont (Gambar 6,8) dan penyakit ciliata juga menjadi perhatian utama (Radhakrishnan dan Kizhakuda, 2019).
Teritip (Amphibalanus spp.) merupakan biota dari filum
Crustacea, ordo Sessilia dan family Balanidae yang hidupnya menempel secara
permanen pada susbstrat salah satunya dinding tiang penyangga dermaga (Gambar
7). Secara alami teritip banyak dijumpai di laut. Sudah sejak lama teritip
menjadi masalah yang sangat serius. Kemampuannya dan tempat hidupnya yang
menempel pada substrat memiliki sifat yang dapat merusak dan memperpendek umur
suatu bangunan (Nontji, 2001).
Penempelan atau biofouling teritip ini ditemui di pesisir timur Pulau Sumatra yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Aktivitas perairan laut di wilayah tersebut yang dikenal sangat padat dan didukung oleh keberadaan pelabuhan atau dermaga yang dapat dijumpai di sepanjang pesisir timur Pulau Sumatra, salah satunya di pelabuhan Kota Dumai, Provinsi Riau bahkan sampai ke Pesisir Pantai Pangandaran Jawa Barat. Apabila diteliti lebih lanjut secara ruang (spasial), dapat diketahui penyebab terjadinya ketidakmerataan distribusi kepadatan teritip pada tiang-tiang pelabuhan, sehingga bermanfaat bagi penanganan masalah biofouling yang terjadi pada Pelabuhan. Pada bagian tiang pelabuhan atau kapal yang ditempeli oleh teritip dalam jumlah tinggi (Gambar 6) dapat diberi penanganan yang lebih intensif seperti pemberian bahan antifouling yang dapat menghambat penempelan dan pertumbuhan teritip.
Pada pengobatan terhadap ikan yang sakit sering menggunakan
antibiotik seperti tetracycline, ampicillin dan chloramphenicol. Penggunaan
antibiotik terus menerus dapat menyebabkan bakteri patogen menjadi resisten
serta residu antibiotik terakumulasi dalam tubuh ikan sehingga berbahaya bagi
kesehatan manusia yang mengkonsumsi ikan tersebut (Iman, 2017). Immunostimulan
meningkatkan resistensi organisme terhadap infeksi patogen. Senyawa ini dapat
merangsang sistem imun dengan cara meningkatkan aktifitas sel-sel fagosit (Yin
et al., 2006). (HS/RR)
Tidak ada komentar