Pembuktian Terbalik dan UU Perampasan Aset sebagai Solusi Pemberantasan Korupsi - Dimiskinkan, Tepatkah?
Oleh: Edi Sutiyo (Akivis & Pemerhati Kebijakan Publik)
Algivon.com -- Sejak KPK berdiri pada zaman pemerintahan
Presiden Megawati kasus korupsi bukannya menurun namun terus naik. Bahkan, di
semua lini pemerintahan,. Hal ini sungguh ironi, setiap saat KPK menampilkan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang
melibatkan para pengambil kebijakan pusat maupun daerah, mulai bupati, gubernur, menteri, para hakim, jaksa, pejabat di kepolisian serta kalangan
swasta, peristiwa tragis ini hanya sekedar tontonan belaka.
Muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang menyebabkan para
koruptor di negeri ini tidak kapok? Ada yang berpendapat lemahnya penegakan
hukum, semua bisa diatur dengan kekuatan finansial. Faktanya, dalam sejarah
pemberantasan korupsi belum ada hukuman maksimal, semisal hukuman mati atau
seumur hidup seperti kasus narkoba dan teroris. Padahal, korupsi merupakan bagian dari
kasus extra ordinary crime. Konon, kasus terbesar dengan nilai kerugian 100
triliun yang melibatkan pengusaha Surya Darmadi alias Apeng, sang hakim hanya
menjatuhkan vonis 15 tahun. Barang tentu, vonis ini sangatlah tidak adil bagi masyarakat.
Menurut hemat penulis perlu ada solusi yang jika ini diberlakukan, kemungkinan besar akan menekan kasus korupsi. Orang akan berfikir ribuan kali untuk melakukan tindakan korupsi, yang pertama berlakukan segera UU Perampasan Asset dan kedua pembuktian terbalik.
Alkisah, pertama kalinya dalam sejarah peradilan pidana, pembuktian
terbalik diterapkan, terjadi pada perkara Bahasyim Assifie, mantan pejabat
pajak. Pada 2 Februari 2011.Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis
Bahasyim dengan hukuman 10 tahun penjara. Bahasyim pun dihukum untuk membayar
denda sebesar Rp 250 juta (subsider tiga bulan kurungan). Pengadilan pun memerintahkan agar harta kekayaan Bahasyim senilai Rp 61 miliar dan US$ 681 153
disita untuk negara.
Menurut majelis hakim yang diketuai Didik Setyo Handono, Bahasyim terbukti menerima suap. Bahasyim dinyatakan melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999. Bahasyim juga dinyatakan melanggar Pasal 3 ayat 1 huruf a UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Entah bagaimana kelanjutan perkara Bahasyim di pengadilan banding, atau bahkan bila kelak di Mahkamah Agung. Yang pasti, putusan perkara ini akan sangat berarti bagi upaya pemberantasan korupsi, terlebih untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Sebagaimana tuntutan reformasi pada 1998, yang ditegaskan antara lain melalui UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Putusan perkara Bahasyim akan amat berarti bagi upaya
pemberantasan korupsi, lantaran proses penanganan perkara tersebut menggunakan
“pembuktian terbalik” (pembalikan beban pembuktian).
Selain terhadap perkara Bahasyim, mestinya pembuktian
terbalik dapat pula diberlakukan, misalnya, terhadap perkara “rekening gendut”
sejumlah perwira polisi, yang terungkap beberapa waktu lalu. Demikian pula
terhadap kasus rekening mencurigakan milik 42 pegawai pajak yang diungkap oleh Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK). Sebanyak 42 rekening itu diketahui mengalami
transaksi keuangan Rp 500 juta hingga Rp 7 miliar. Bahkan ada rekening dengan
nilai transaksi fantastis, yakni Rp 27 miliar. PPATK juga melaporkan sejumlah
rekening pegawai Bea-Cukai, dengan transaksi mencurigakan Rp 500 juta hingga Rp
5 miliar. Salah satu rekening malah ditengarai memiliki total transaksi sampai
Rp 41 miliar.
Diharapkan penanganan kasus rekening mencurigakan yang
dilaporkan PPATK itu ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh oleh aparat penegak
hukum. Janganlah “sejarah buruk” penanganan kasus rekening Bahasyim dan Gayus
Tambunan, yang juga berasal dari laporan PPATK, terulang. Dulu, kasus rekening
Bahasyim baru berbulan-bulan kemudian disidik oleh kepolisian.
Sejatinya, kasus Bahasyim, Gayus Tambunan, dan kasus lainnya
yang baru sebatas mozaik-mozaik kecil yang terungkap ke permukaan. Tak
mustahil, masih banyak lagi kasus rekening pegawai negeri, pegawai BUMN/BUMD,
serta penyelenggara negara, baik di lingkungan eksekutif, yudikatif, maupun
legislatif, yang diduga berasal dari hasil korupsi, atau setidak-tidaknya harta
kekayaan mereka diperkirakan sangat tidak sesuai dengan penghasilan atau sumber
pendapatan resminya.
Pembuktian terbalik
Yang jelas, berbagai kasus di atas lebih mengarah pada
kemungkinan delik suap, yang merupakan bagian dari kelompok tindak pidana
korupsi. Selama ini, suap sebagai perbuatan korupsi yang paling banyak
terjadi, ternyata paling sulit diberantas. Perkembangan ini juga kian
menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi kejahatan luar biasa karena berlangsung
secara sistematis dan meluas. Karena itu, pemberantasan korupsi harus dilakukan
dengan cara luar biasa. Salah satu caranya, dengan menerapkan pembuktian
terbalik (Akil Mochtar, 2006).
Pembuktian terbalik merupakan sistem pembuktian pola baru
yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon. Teori ini telah berhasil
dipraktekkan di beberapa negara, di antaranya Hong Kong, Inggris, Malaysia, dan
Singapura. Disebut baru, karena sistem pembuktian terbalik mengandung arti
bahwa beban pembuktian ada pada terdakwa.
Terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dia tidak melakukan
tindak pidana. Sistem pembuktian terbalik berbeda dengan sistem pembuktian yang
selama ini berlaku, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut Pasal 137 KUHAP, jaksa penuntut umumlah yang harus membuktikan apakah
terdakwa melakukan tindak pidana. Sedangkan pada Pasal 66 KUHAP ditegaskan
bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian
Sistem pembalikan beban pembuktian telah diadposi dalam UU
Nomor 20 Tahun 2001. Menurut undang-undang ini, pembuktian terbalik
diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi (pemberian), yang
berkaitan dengan suap (Pasal 12B ayat 1) dan terhadap tuntutan perampasan harta
benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU Nomor 31 Tahun
1999, serta Pasal 5 sampai Pasal 12 UU Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang ini
juga memerinci pengertian gratifikasi secara luas. Jadi, pemberian seperti
komisi, persenan, imbalan, hadiah, “upeti”, bahkan pungutan liar, bisa masuk
dalam pengertian tersebut. Kalaupun ada bentuk ataupun penafsiran berbeda
tentang gratifikasi, penjelasan Pasal 12B ayat 1 sudah mengakomodasinya dengan
kata-kata “dan fasilitas lainnya” (Akil Mochtar, 2006).
Selain itu jika disah
RUU perampasan aset menjadi UU perampasan aset, akan mampu mempercepat proses
pengembalian aset yang telah di curi oleh para koruptor,
Koruptor diyakini oleh banyak pihak harus dimiskinkan agar tidak lagi leluasa memainkan peranan dalam vonis hukuman, sehingga masa penahanan akan benar efektif, menjadi hukuman yang menimbulkan efek jera, mereka tidak mampu lagi membeli hukuman karena UU sudah menjadikan mereka tidak berdaya. (HS/ES).
Tidak ada komentar