Integrasi Moda Transportasi di Seputar KCJB, PR Kita Bersama
O P I N I
Ilustrasi foto dari kasus protes warga Rancanumpang, Kecamatan Gedebage Kota Bandung (Agustus 2023), mempertanyakan pembuatan jembatan 'darurat' bailey yang dikatakan warga setempat, seakan ujug-ujug dibangun katanya demi akses ke Tegaluar KCJB? (Foto by: HS).
Oleh : Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
Algivon.com – Begini kawan, ini sedikit kisah tentang keluhan. Tak
lain intinya, sebuah paradox! Mereka
ini merupakan pengguna jasa layanan transportasi Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Keluhannya, menurut hemat
saya, amatlah wajar. Namun, isi keluhannya adalah sungguh sebagai pekerjaan
rumah (PR) serius bagi pemerintah Provinsi
Jawa Barat. Ini berkaitan, belum terintegrasinya moda transportasi,
utamanya di seputar KCJB itu.
Katakanlah kini, dengan menggunakan KCJB, waktu tempuh Jakarta-Bandung hanya sekitar 40 menit! Faktanya,
satuan waktu tersebut memang hanya dari transit oriented development
(TOD/stasiun) Halim ke TOD Tegalluar.
Namun di luar fakta, satuan waktu itu? Ini paradox-nya, dari Tegalluar ke
Gedung Sate bisa membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Apa penyebab hal ini terjadi
seolah tanpa ada solusi?
Ini sebagian jawabannya, selepas dari TOD Tegalluar, jalur yang dilalui menuju ke arah Gedung Sate memang masih banyak yang
sempit. Akibatnya, laju kendaraan pun menjadi lebih lambat. Sebenarnya ada jalur
pilihan melalui jalan tol. Namun, sebelum masuk tol, tetap saja harus mengular
masuk ke kawasan kompleks perumahan Summarecon.
Sebelum memasuki kawasan itu, lagi-lagi jalurnya masih cukup sempit.
Jika jalur yang dipilih adalah masuk ke arah Jalan
Soekarno-Hatta, dipastikan jalur tersebut lebih macet lagi. Sebelum sampai ke Jalan Soekarno-Hatta saja, setelah
keluar dari kawasan Summarecon, jalannya sudah mulai menyempit. Belum lagi ketika
kita berpapasan dengan para pengunjung Mesjid Raya Al-Jabbar. Selain jalannya
masih sempit, jalur ini sudah cukup padat penggunanya.
Pembebasan Lahan
& Permasalahannya
Selepas itu, melalui Jalan Cimencrang bisa dipastikan tidak
kalah macet. Jalan itu relatif sempit,
sedangkan kendraan yang melaluinya tidak pernah sepi sejak diresmikannya Mesjid Raya Al-Jabbar. Jalan Cimencrang
memang semestinya sudah diperlebar mengingat volume kendaraan yang melewati
jalur itu. Namun, pembebasan lahan di wilayah perkotaan memang bukanlah hal
yang mudah. Persoalan pembebasan lahan hampir selalu menjadi masalah klise di
setiap kegiatan pembangunan. Padahal, jika Jalan Cimencrang sudah diperlebar,
bisa dipastikan volume kendaraan ke dan dari Mesjid Raya Al-Jabbar maupun TOD
Tegalluar akan menjadi lebih lancar.
Memasuki Jalan Soekarno-Hatta juga tidak bisa terlepas dari
kemacetan. Jalur itu memang sangat strategis mengingat fungsinya yang menjadi
penghubung bagian timur menunju arah tengah atau pusat kota. Dengan demikian,
bisa dipastikan bahwa volume kendaraan di Jalan Soekarno-Hatta pastilah padat.
Di sepanjang kiri-kanan jalan tersebut berjejer berbagai perkantoran, kantor
pemerintah, kantor partai, bisnis, supermarket Markas Kepolisian Daerah Provinsi Jawa Barat. Di belakangnya juga
banyak sekali perumahan yang tentu saja jumlah rumahnya secara total menjadi
ribuan.
Jika kita menunju Gedung
Sate dari Jalan Soekarno-Hatta, ada beberapa alternatif yang bisa
digunakan. Bisa melalui perempatan Jalan
Kiara Condong, atau melalui perempatan Jalan Buah Batu. Namun, bisa
dipastikan, menjaleng kedua perempatan besar tersebut, akan dialami pemacetan
yang cukup panjang. Bahkan, sebelum itu, perjalanan akan terganggu dengan
adanya kendaraan yang berputar arah.
Lalu, masuk ke pusat Kota Bandung pun tidak kalah macet.
Para pengguna jalan harus tahu betul jalur alternatif yang akan digunakan. Jika
tidak, bisa dipastikan satu hal: pasti akan terjebak pada beberapa titik kemacetan.
Jadi, memang dibutuhkan juga pengetahuan soal jalur mana yang macet dan jalur
mana yang tidak -- atau carilah yang titik kemacetannya tidak terlalu parah?
Intinya, kita pengguna lalu-lintas, harus memutar otak secara ekstra, dan
memakan enerji tak sedikit tentunya.
Begitulah kita-kira kondisi yang akan dialami para penumpang
KCJB selepas turun dari TOD Tegalluar. Masih adakah jalan alternative
yang bisa digunakan? Semoga, gambaran singkat ini bisa menjadi bahan untuk
pemecahan masalah yang rumit ini. Artinya, gambaran singkat ini, amatlah membutuhkan
solusi segera yang komprehensif, bukan yang setengah – setengah.
PR Kita Semua!
Singkatnya, sempitnya jalur serta tingkat kemacetan yang
semakin akut di Kota Bandung, ini menjadi PR khusus bagi Pj. Wali Kota Bandung Bambang Tirtojuliono, yang sebelumnya dikenal
pula sebagai Kepala Dinas Bina Marga dan
Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat. Selain itu, masalah ini yang menurut
saya sebagai paradox, sekaligus merupakan PR serius bagi Penjabat Gubernur Jawa Barat Bey
Triadi Machmudin.
Tentu, PR itu tidak hanya untuk kedua eksekutif tersebut.
Hal itu pun menjadi PR untuk kebijakan yang dihasilkan bersama DPRD Kota Bandung dan DPRD Provinsi Jawa Barat. Bahkan, akan
menjadi lebih elok lagi jika Pemerintah
Pusat juga turut mengulurkan tangan untuk menyelesaikan masalahnya.
Semoga semua pihak berkenan mengikhtiarkan solusi atas
masalah yang ada di Provinsi Jabar
ini. Alhasil fenomena paradox ini dapat kita atasi bersama. Galibnya, persoalan integrasi moda
transportasi di seputar KCJB bertahap PR-nya
dapat kita pecahkan. Bukankah, negara wajib mengurus dan mengikhtiarkan segala
upaya untuk kesejahteraan rakyat? Wallahu’alam bisshawab. (HS/DR).
Tidak ada komentar