Penantian Panjang Pemohon PPTPKH di Jawa Barat - Mau Sampai Kapan?



Ilustrasi - pantauan udara kawasan hutan di Kab. Garut Jawa Barat, berdasarkan RTRW Jabar - 80% wilayah Garut merupakan kawasan 
koservasi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia.




Algivon.com -- “Pak, kapan SK persetujuan permohonan PPTPKH (Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Rangka Penataan Kawasan Hutan) kami akan diserahkan. Sementara,  daerah lain sudah banyak yang menerima?”. Begitulah salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan oleh puluhan perwakilan masyarakat pemohon PPTPKH di Jawa Barat, sejak Juni 2023. Dan, sudah tak terhitung berapa kali kalimat mereka lontarkan. 


Berbagai upaya koordinasi telah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk oleh pemerintah daerah, terakhir pada tanggal 9 Agustus 2024 yang lalu oleh Pemda Garut dan Kepala Desa Nunuk (Kab. Majalengka), guna mendapatkan kepastian jawaban dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), khususnya dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) sebagai bagian dari pihak yang bertanggungjawab terhadap urusan tersebut. Sayangnya, jawaban yang diberikan masih tetap tidak pasti dan tanpa alasan yang jelas.


Sejatinya, PPTPKH adalah urusan yang telah didukung dengan regulasi yang sangat lengkap, mulai dari Undang-undang (Cipta Kerja), Peraturan Pemerintah (No. 23 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kawasan Hutan), Peraturan Presiden (No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan), Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (No. 7 tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan). Termasuk adanya Surat dari Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan di Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK RI telah mengirimkan Surat Nomor S.372/KLH/PKHWI/ PLA.2/11/2021, tanggal 4 November 2021, perihal Penyampaian Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Peta Indikatif Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH), kepada para Bupati se- Indonesia. Dengan dukungan aturan-aturan tersebut, seharusnya tidak ada lagi kendala bagi pelaksanaan PPTPKH. 


Stigmatisasi Negatif


PPTPKH merupakan pijakan penting untuk penegakan hukum bagi upaya pelestarian kawasan hutan di Indonesia. PPTPKH menjadi “gerbang” solusi “persoalan warisan” masa lalu tentang carut marutnya pengelolaan kawasan hutan dan sekaligus dapat menghilangkan stigmatisasi negatif, bahwa masyarakat desa hutan atau desa pinggir hutan sebagai “perambah” yang menjadi biang kerok rusaknya kawasan hutan di Indonesia.  Padahal jika dipikirkan kembali, bagaimana mungkin, mereka yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja harus bersusah payah, sulit akses, tak punya modal dan sebagainya dapat menjelma menjadi “perusak utama” hutan Indonesia?


Apabila mencermati paparan riwayat atau sejarah desa, tidak sedikit desa hutan atau desa pinggiran hutan yang terbentuk bukan atas kehendak mereka. Para pendahulu atau “sesepuh” penduduk desa tersebut, berada di lokasi itu disebabkan berbagai hal, seperti diungsikan pada waktu perang kemerdekaan, dipindahkan karena bencana alam, wabah atau terkena proyek dan sebagainya. Di tengah berbagai keterbatasan dan keterpaksaan, mereka “dituntut” oleh keadaan harus bertahan, dan tidak jarang terlupakan oleh pemerintah. Akhirnya mereka berketurunan di daerah tersebut dan berkembang menjadi kawasan permukiman atau desa.


Kemudian, menyoal mengenai kawasan permukiman (baik berupa desa atau kampung) yang berada di dalam kawasan hutan, untuk Provinsi Jawa Barat khususnya, berdasarkan hasil identifikasi mandiri yang dilakukan oleh Sarekat Hijau Indonesia (SHI), menunjukkan bahwa terdapat ± 196 (seratus sembilan puluh enam) titik/area permukiman di dalam kawasan hutan. Area pemukiman tersebar di 17 (tujuh belas) kabupaten dengan luas ± 3.916,27 (tiga ribu sembilan ratus enam belas dua puluh tujuh perseratus) hektare atau 0,48% dari luas seluruh kawasan hutan Jawa Barat (± 816.000 hektar). Sedangkan, data dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Yogyakarta, luas indikatif area permukiman dan fasilitas sosial serta umum di Provinsi Jawa Barat adalah sebesar ± 3.026 (tiga ribu dua puluh enam) hektar. 


Dalam perjalanannya, dari 196 kawasan permukiman, dalam catatan SHI terdapat 50 (lima puluh) permohonan dari 8 (delapan) kabupaten yang mengajukan permohonan pelepasan kawasan, dengan luas keseluruhan ± 1.113,06 (seribu seratus tiga belas enam perseratus) hektar, dengan tanggal pengajuan paling awal adalah 16 Desember 2021. Di sisi lain, terdapat  berbagai permohonan pelepasan kawasan hutan dari masyarakat (tidak hanya untuk permukiman) yang tersebar di 10 kabupaten di Jawa Barat dengan luasan ± 4.746,47 (empat ribu tujuh ratus empat puluh enam empat puluh tujuh perseratus) hektare. Usulan-usulan tersebut telah diverifikasi lapangan oleh Tim Terpadu Provinsi pada bulan Juni 2023. Konon, rekomendasi dari Tim Terpadu juga sudah disampaikan, sehingga keputusan akhir ada pada KLHK, dalam hal ini adalah Dirjen PKTL sebagai Ketua Pelaksana Tim PPTPKH.


Respon Pemerintah? 


Memperhatikan berbagai dinamika yang terjadi di Jawa Barat khususnya, dalam PPTPKH masyarakat memiliki antusiasme yang tinggi untuk mentaati dan mengikuti berbagai ketentuan dan prosedur sesuai peraturan perundang-undangan, serta memiliki harapan besar untuk segera mendapatkan kepastian hukum terhadap permohonan yang telah disampaikan. Sayangnya antusiasme ketaatan masyarakat tersebut tidak berbanding lurus dengan respon pemerintah, terutama Ditjen PKTL di KLHK. Masyarakat ternyata harus menunggu begitu lama, bahkan ada yang hamprr 3 tahun tanpa ada keputusan yang jelas.


Terlepas dari apapun rekomendasi Tim Terpadu, Jika melihat kondisi hutan  di Jawa Barat, keputusan terbaik terhadap PPTPKH kawasan permukiman adalah dengan relokasi. Tetapi, jika hal tersebut tidak memungkinkan, maka khusus untuk kawasan permukiman perlu dikeluarkan dari kawasan hutan, agar tidak memberikan status yang ambigu. Statusnya kawasan hutan tetapi fakta lapangannya berupa perumahan. Berbeda halnya dengan jenis pemanfaatan lain non kehutanan, permukiman hampir tidak mungkin dikembalikan menjadi kawasan hutan kecuali dengan relokasi. Sedangkan, PPTPKH untuk jenis pemanfaatan lain dapat dengan skema persetujuan di luar pelepasan, seperti Perhutanan Sosial atau Persetujuan Penggunaan Kawasan dan sebagainya. 


Meskipun keputusan pelepasan kawasan hutan untuk permukiman adalah hal terburuk yang harus diambil, tetapi itu adalah langkah terbaik untuk menyelamatkan kawasan hutan di Jawa Barat ke depan. Karena dengan demikian, pemerinttah memiliki data yang jelas mengenai luasan masing-masing kawasan permukiman dan dapat dengan tegas menetapkan sanksi apabila terjadi penambahan luasan.


Kelengkapan regulasi mengenai PPTPKH seyogyanya benar-benar dijadikan momentum oleh pemerintah dan semua pihak untuk menyelamatkan hutan di Indonesia. Sekarang bukan saat yang tepat untuk saling menyalahkan. Saat ini kita pelu melakukan langkah-langkah solutif, antara lain:


a menuntaskan PPTPKH dalam 3 tahun ke depan;

b tidak memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan;

c menetapkan HGU-HGU/ Perizinan Pengelolaan kawasan hutan yang telah habis jangka waktunya, kembali menjadi kawasan hutan


Jika pemerintah kurang sungguh-sungguh memanfaatkan memontum tersebut, maka 5 atau 10 tahun ke depan, kita akan dihadapkan kembali pada persoalan yang sama, menyelesaikan lagi penguasaan tanah di kawasan hutan yang tetap marak. Sungguh, menjadi sesuatu yang sangat naif dan ironi jika harus mengulang-ulang kesalahan yang sama.


Lalu, jika dengan lengkapnya regulasi PPTPKH pemerintah dalam hal ini Ditjen PKTL-KLHK tidak juga mampu memberikan keputusan permohonan PPTPKH dari masyaraka Jawa Barat, maka akan muncul segudang pertanyaan dan  “runtuh” lah segala harapan warga masyarakat yang mengajukan PPTKH. Ada apa sebenarnya...?. Penggalan syair lagu salah satu grup rock tanah air menjadi penggambaran sempurna kemasygulan para pemohon PPTPKH di Jawa Barat.. ”menanti kejujuran, harapkan kepastian, hanya itu yang sanggup aku lakukan” (HS/ WALHI Jaba-SHI Jabat-FK3I Jabar). 




Penantian Panjang Pemohon PPTPKH di Jawa Barat - Mau Sampai Kapan?  Penantian Panjang Pemohon PPTPKH di Jawa Barat - Mau Sampai Kapan? Reviewed by Harri Safiari on 10.56 Rating: 5

Tidak ada komentar